DPRD Medan Akan Gelar RDP Bahas Jual-Beli Darah -->

Advertisement

Advertisement

DPRD Medan Akan Gelar RDP Bahas Jual-Beli Darah

Kamis, 13 September 2018

MEDAN, POC - DPRD Medan melalui Komisi B yang membidangi kesehatan menaruh perhatian serius terhadap kasus "sedot' darah yang terjadi pada puluhan anak di Jalan Tuar, Amplas, beberapa waktu lalu.

Pasalnya, ulah calo darah yang seolah menghalalkan segala cara untuk mengambil darah anak-anak akan menjadi masalah besar di kemudian hari. Apalagi jika pengambilan darah dilakukan sembarangan, tanpa mengecek kesehatan si pendonor.

"Ini tak bisa dibiarkan, aparat kepolisian dan pemerintah harus serius menangani masalah ini. Darah itu harus steril, harus jelas pendonornya sehat atau tidak. Bukan sembarangan. Bayangkan saja jika orang yang transfusi darah ternyata menerima darah yang tak sehat atau hb (hemogoblin) nya rendah. Bisa mati yang menerima transfusi darah,"tegas H Jumadi, anggota Komisi B DPRD Medan, Kamis (13/9/2018).

Lanjutnya lagi, Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan pihak yang berkompeten untuk pengambilan darah. Selain itu pihak rumah sakit juga tak dibolehkan menerima darah tanpa melalui tahapan standar kesehatan yang sudah ditentukan.

"Kasus ini harus ditelusuri tuntas, dicari tahu dimana rumah sakit yang membeli darah. Jangan dibiarkan masalah ini berlarut-larut, sudah ada korban yang mengadu ke polisi. Artinya sudah layak pihak kepolisian menindaklanjuti. Orangtua menuntut karena anaknya masih di bawah umur, malah darahnya diambil. Itu sudah langkah yang benar, polisi harus mengusut, "tukas Ketua Fraksi PKS DPRD Medan ini.

Dia menghimbau agar keluarga korban juga melapor ke Komisi B DPRD Medan. Berdasarkan laporan korban, pihaknya akan menindaklanjuti dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat (rdp) dan memanggil pihak terkait.

"Saya prihatin dengan masalah ini. Kita himbau masyarakat yang menjadi korban melaporkan hal ini ke DPRD Medan. Dengan begitu akan kita rdp kan kasus ini, agar jadi perhatian semua pihak. Untuk rumah sakit, kita tegaskan jangan terima darah sembarangan. Ini berbahaya, karena menyangkut nyawa manusia,"tegasnya.

Lanjut Jumadi, penjualan darah termasuk hal yang dilarang karena termasuk penjualanan organ tubuh manusia. Meski tak ada istilah jual beli darah, namun ada dana yang diberikan sebagai pengganti alat.

"Kalau tak salah, dananya sekitar Rp 150 ribu. Itu pun bukan untuk bayar darah, tapi sebagai pengganti alat cek kesehatan darah,"sebutnya.

Dia juga mengingatkan masyarakat dan pelaku medis bahwa perdagangan organ tubuh merupakan suatu hal yang dilarang. Hal ini berdasarkan Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dimana dalam pasal itu Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun, sanksi pidana atas tindakan jual beli organ tubuh diatur dalam Pasal 192 UU Kesehatan: “Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Sedangkan dalam Pasal 90 ayat (3) UU Kesehatan diatur bahwa darah tidak boleh diperjualbelikan, pasal 90 ayat (3) UU Kesehatan: “Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.” Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) seperti tercantum dalam pasal 195 UU Kesehatan ini.

Untuk diketahui, kasus ini terkuak setelah Lela, warga Jalan Seser, Ampas mengadu ke Polsek Patumbak lantaran putranya Anggi yang masih usia 12 tahun jadi korban sedot darah. Dalam kronologis singkatnya, sekitar 30 anak dikumpulkan di salah satu rumah kosong di Jalan Tuar, Amplas dengan dalih akan diberi santunan untuk anak yatim dan jalanan. Tak nyana, itu hanya akal-akalan belaka. Ternyata darah mereka diambil, lalu diberi uang Rp 50 ribu serta sebungkus nasi. (maria)