Sidang Lanjutan Pengusaha Vigour, Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Terdakwa -->

Advertisement

Advertisement

Sidang Lanjutan Pengusaha Vigour, Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Terdakwa

Rabu, 01 September 2021


MEDAN - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Chandra Priono Naibaho meminta majelis hakim agar menolak nota eksepsi (keberatan atas dakwaan) yang diajukan oleh terdakwa David Putranegoro alias Lim Kwek Liong melalui kuasa hukumnya. 


Hal itu terungkap dalam sidang perkara dugaan penggelapan harta warisan orangtua di Ruang Cakra VI Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (31/8) siang. 


"Meminta kepada majelis hakim agar menolak eksepsi dari terdakwa David Putranegoro alias Lim Kwek Liong maupun kuasa hukumnya," ujar Chandra. Menurut JPU dari Kejari Medan tersebut, surat dakwaan sudah disusun secara cermat, jelas dan tepat. 


Usai mendengarkan tanggapan jaksa, Hakim Ketua, Dominggus Silaban menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda putusan sela. Terpisah, tim kuasa hukum Jong Nam Liong (korban/pelapor) yakni Longser Sihombing SH MH dan Hadi Yanto SH MH sepakat dengan tanggapan jaksa. 


"Kami juga berharap majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut agar dapat menelaah lebih dalam motif kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa," cetus Longser. Dia juga berharap berkas milik dua tersangka lain dalam perkara itu yakni LSL alias ED dan FN (Notaris) segera dilimpahkan ke JPU. 


"Karena SPDP maupun dalam SP2HP ketiga tersangka sudah disebutkan dan harap diketahui 'OTAK PELAKU' dalam kejahatan ini belum lah dilimpahkan ke JPU. Hukum itu harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh," pungkas Longser. 


Dalam dakwaan JPU Chandra Priono Naibaho, pengusaha minuman Vigour tersebut adalah anak dari mendiang Jong Tjin Boen. Jong Tjin Boen memiliki dua orang istri. Istri pertama adalah mendiang Lim Lian Kau dan istri kedua adalah mendiang Choe Jie Jeng. 


Dari Lim Lian Kau, Jong Tjin Boen punya sembilan anak dan Lim Kwek Liong adalah anak ketujuh. Sementara dari Choe Jie Jeng, Jong Tjin Boen punya tiga anak. Pada tanggal 30 Juni 2008 sampai 5 September 2008, Jong Tjing Boen berada di Singapura dalam rangka pengobatan. Pada 5 September 2008, Jong Tjin Boen meninggal dunia di Rumah Sakit Mount Elisabeth Singapura. 


"Saat Jong Tjin Boen sedang menjalani pengobatan, terdakwa Lim Kwek Liong mendatangi Kantor Notaris FN (berkas terpisah) untuk membuat Akta Perjanjian Kesepakatan. Tujuannya, agar terdakwa dan Lim Soen Liong alias Edy (berkas terpisah) dapat menguasai seluruh harta Jong Tjin Bun," ujar JPU. 


Harta yang dimaksud yakni Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), baik harta bergerak maupun tidak bergerak milik Jong Tjin Boen yang disimpan di dalam brankas rumah Jalan Juanda III Nomor 30-C Medan tanpa sepengetahuan dari saksi korban dan ahli waris. 


Selanjutnya, terdakwa menyuruh Fujiyanto membuat isi yang tercantum dari Akta Perjanjian Kesepakatan Nomor: 8 tanggal 21 Juli 2008, sesuai dengan apa yang dikonsep dan sekaligus menyerahkan fotocopy kartu identitas masing-masing pihak yang tercantum. Lalu, terdakwa dan Lim Soen Liong serta FN sepakat menyatakan bahwa Akta Perjanjian Kesepakatan tersebut telah dibuat pada Juni 2008 di rumah Jong Tjin Boen. 


Pada waktu itu, Jong Tjin Boen masih hidup dan berada di Medan agar seolah-olah akta tersebut benar dibuatnya. Padahal di waktu tersebut, Jong Tjin Boen sudah berada di Singapura untuk menjalani pengobatan. "Isi dari Akta Perjanjian Kesepakatan adalah tidak benar adanya karena bukan dibuat oleh yang bersangkutan (Jong Tjin Boen)," cetus Chandra. 


Pada September 2008 setelah Jong Tjin Boen meninggal, terdakwa dan Lim Soen Liong secara bergantian pernah meminta saksi korban serta ahli waris untuk membubuhkan tandatangan dan sidik ibu jari pada surat yang telah dipersiapkan. 


Sebahagian isinya diketahui oleh saksi korban adalah menyangkut pembagian deviden perusahaan, harta kepemilikan tanah, harta bergerak dan harta tidak bergerak yang mana SHM atau HGB disimpan dalam brankas milik Jong Tjin Boen. Pada Desember 2010, terdakwa meminta kunci brankas milik Jong Tjin Boen kepada Mimiyanti. 


Setelah itu, terdakwa dan Lim Soen Liong menguasai harta serta mengambil alih kekuasan untuk membagi deviden usaha Vigour kepada seluruh ahli waris dan menjual harta peninggalan Jong Tjing Boen secara sepihak tanpa adanya persetujuan atau izin dari saksi korban maupun ahli waris. 


"Isi dari Akta Perjanjian tersebut menjadikan terdakwa sebagai pengendali atau yang dipercayakan untuk menyimpan maupun untuk melakukan jual beli dari bagian harta peninggalan milik Jong Tjin Boen," beber JPU. 


Saat Akta Perjanjian tersebut dibuat, saksi korban dan Jong Tjin Boen serta ahli waris tidak pernah menerima salinan sehingga tidak pernah mengetahui isinya. Akibat perbuatan terdakwa bersama Lim Soen Liong dan FN, membuat saksi korban dan ahli waris Jong Tjin Boen mengalami kerugian. Karena saksi korban dan ahli waris tidak dapat menerima hak-hak yang seharusnya diterima. 


"Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 266 ayat (1) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana," pungkas Chandra. (Red)