PEWARTAONLINE.COM, JAKARTA - LBH Pers meluncurkan protokol keamanan jurnalis dalam meliput isu kejahatan lingkungan. Protokol ini disusun oleh tim peneliti dari LBH Pers dan Peneliti dari International Federation of Journalists dengan mendengar masukan dari berbagai kalangan yang berkepentingan dengan isu ini. Mereka adalah jurnalis peliput isu lingkungan, aktivis masyarakat sipil yang bergerak pada isu lingkungan, ahli, akademisi, organisasi profesi jurnalis, dan Dewan Pers.
Isi dari dari protokol ini terdiri dari lima bab yang fokus pembahasannya melalui dari tahapan persiapan hingga hal-hal yang harus dilakukan dalam menghadapi serangan tersebut. Bab I membahas mengenai Perencanaan dan Persiapan, Bab II tentang Keselamatan Pada Saat Meliput, Bab III fokus pembahasannya adalah mengenai Keamanan Digital, lalu Bab IV terkait Berita dan Kode Etik Jurnalistik dan yang terakhir bahasan dalam Bab V adalah Publikasi.
Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin menjelaskan, pembuatan protokol ini dilatarbelakangi karena situasi kebebasan pers di Indonesia disebut terus memburuk seiring dengan banyaknya jumlah jurnalis yang menjadi korban penyerangan pada saat melakukan kerja-kerja jurnalistik. Situasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya jumlah kekerasan terhadap jurnalis setiap tahunnya.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, kata Ade selama 5 tahun terakhir, setidaknya terdapat 413 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang sedang melakukan kerja-kerja pers. Tahun 2020 menjadi tahun dengan jumlah kekerasan terbanyak sepanjang LBH Pers melakukan monitoring, yaitu sebanyak 117 kasus.
"Angka kekerasan tersebut diwarnai dengan bentuk-bentuk serangan yang diterima oleh jurnalis mulai dari pengeroyokan, pemukulan, perusakan alat meliput, intimidasi psikis, ancaman serangan digital, hingga kekerasan seksual. Kekerasan terhadap jurnalis semakin memburuk saat yang menjadi korbanya adalah jurnalis perempuan," katanya dalam keterangan tulis, Rabu (24/3/2021).
Saat ini, kata Ade jurnalis di Tanah Air bekerja dengan ketiadaan protokol keamanan, dan lemahnya upaya perlindungan terhadap keselamatan mereka.
Ade menekankan bahwa protokol ini memberikan panduan guna meningkatkan perlindungan terhadap jurnalis.
"Tentu, protokol ini hanya akan efektif jika redaksi dan jurnalis mengimplementasikannya. Kami berharap redaksi dan perusahaan media massa juga memiliki kesadaran untuk menyusun protokol. Redaksi dan perusahaan media massa pun harus terus meningkatkan pelaksanaan protokol keselamatan," kata Ade.
Sementara itu, Pimpinan Redaksi Liputan6.com, Irna Gustiawati yang sekaligus mewakili Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), juga menekankan pentingnya sebuah protokol keamanan bagi seorang jurnalis saat meliput isu yang rentan mendapatkan kekerasan. Menurutnya, hadirnya protokol ini begitu penting bagi perusahaan media.
“Protokol keamanan ini sudah sangat komplit dan kami tunggu-tunggu. Protokol ini penting karena dapat mendorong perusahaan media dan jurnalis dalam memberikan protokol hingga SOP di setiap masing-masing perusahaan media dan berkolaborasi untuk melindungi jurnalis dalam meliput isu lingkungan,” ujarnya.
M Nasir dari Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) juga turut mengatakan hal semisal. Menurutnya protokol itu merupakan kebutuhan laten bagi jurnalis dalam melakukan kerjanya.
“Protokol keamanan ini menjadi kebutuhan dasar yang dimiliki oleh jurnalis dalam melakukan peliputan khususnya isu kejahatan lingkungan. Namun, juga harus menjadi kesadaran untuk menerapkan protokol ini kepada perusahaan media dan jurnalis. Harapannya, protokol ini menjadi bahan kompetensi jurnalis dan mendukung untuk dibawa ke Dewan Pers," harap dia. (red)